Mengingat Serua

Kemarin, seorang teman KKN secara random bertanya, "Kaka Linda, ada rencana pi pulang ke Waipia, kah?"

Secara spontan, aku menjawab, "Kalau rencana ada, Kaka. Tapi seng ada uang." Lalu kemudian temanku membalas stiker berisi seseorang yang sedang tertawa.

Ketika ditanya demikian, aku tiba-tiba teringat dengan draft tulisan tentang Serua (salah satu pulau asal penduduk Waipia, tempatku KKN) yang masih tersimpan rapi dan gagal diunggah di Hari Bahasa Ibu beberapa waktu lalu karena aku lupa tanggal. Maka aku memutuskan untuk mengunggahnya hari ini, tentunya dengan sedikit modifikasi.

Tentang hari bahasa ibu yang diperingati bulan lalu (21 Februari), aku terbayang dengan keheranan banyak orang yang kerap berkata padaku, "Kamu beneran orang Madura? kenapa logatmu tidak seperti orang Madura?"

Lalu, keheranan tersebut aku jawab dengan, "Karena dulu bahasa ibuku Bahasa Jawa. Walau ibuku orang Madura, tapi aku lancar berbahasa Madura ketika kelas 5 SD, saat pindah ke sana. Dan sepertinya logat Madura tidak kental di lidahku karena sejak kuliah, aku gemar belajar bahasa daerah lain, seperti Bima, Bugis, Ambon, Bajo, Timor, sampai Serua."

Penjelasanku --yang hampir selalu kuulang-ulang kepada mereka yang keheranan dengan logatku-- kemudian seringkali dibalas dengan anggukan, tanda mengerti.

Ketika disodorkan pertanyaan berbunyi,“apa bahasa ibumu?” maka bermacam-macam bahasa akan disebutkan tergantung di mana seseorang lahir dan dibesarkan. Beberapa mungkin akan menyebutkan bahasa-bahasa daerah, sebagian lainnya akan menjawab dengan bahasa nasional. Keberadaan bahasa ibu atau mother language ini dirasa sangat penting untuk terus dijaga, bahkan setiap tahunnya di tanggal 21 Februari, dunia merayakan hari tersebut sebagai “Hari Bahasa Ibu Sedunia.

Jika dihitung, maka di tahun 2021 ini kita telah merayakan peringatan hari bahasa ibu untuk yang kedua puluh satu kalinya. Sebab, seremoni perayaan hari ibu sudah berlangsung sejak tahun 2000 ketika diproklamirkan dalam General Conference UNESCO pada November 1999.[1]

Selain terbayang pada setiap kalimat keheranan orang-orang tentang mengapa aku tidak berlogat Madura ketika berbicara, ingatan mengenai bahasa ibu juga membawaku pada kepingan memori ketika mencoba ‘merekam’ bahasa Serua, sebuah bahasa milik orang-orang Pulau Serua.

Jika kita bentangkan peta Provinsi Maluku, maka pulau ini berada tepat di sisi selatan di deretan pulau-pulau kecil pinggiran Laut Banda. Dari cerita yang sempat kudengar langsung, orang-orang di pulau ini dipindahkan ke Pulau Seram –pulau terbesar di Provinsi Maluku—di akhir tahun 1970an. Kini, orang-orang Serua sudah mendiami sebuah kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah, tepat berada di sisi selatan Pulau Seram. Kecamatan itu bernama TNS Waipia.

Pemindahan besar-besaran di akhir 70an itu memindahkan pula semua hal yang dimiliki orang-orang Serua, termasuk bahasa mereka. Walau bahasa Serua juga turut dibawa serta, tetapi kini Bahasa Serua disebut menjadi salah satu bahasa daerah yang sudah dinyatakan punah[2].

Punahnya atau berkurangnya penutur suatu bahasa, bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Robbert Dixon[3], seorang ahli linguistik dari James Cook University Queensland, peristiwa-peristiwa seperti bencana alam, pengenalan teknologi baru, perkembangan industri pertanian, pemindahan populasi, dan masuknya agama atau pemahaman baru menjadi faktor-faktor yang menyebabkan sebuah bahasa terancam eksistensinya di masyarakat.

Robbert Dixon memaparkan alasan-alasan tersebut pada hasil risetnya yang diterbitkan tahun 1998, yang artinya masih relevan dengan kondisi yang dihadapi oleh orang-orang Serua pada dekade tahun 70an. Kini, faktor-faktor terancamnya suatu bahasa turut berkembang seiring perubahan. Sisa-sisa kolonisasi dan perkembangan kolonisasi kini menjadi dua faktor yang menurut seorang ahli linguistik dari University of Chicago, Salikoko Mufwene,[4] paling berpengaruh terhadap terancamnya suatu bahasa.

Kendati sudah lebih dari 40 tahun berpindah dan kemudian belakangan ini dinyatakan punah, aku merasa beruntung ketika masih bisa mendengarkan para orang-orang Serua golongan tua yang masih menggunakan bahasa Serua. Rasa "beruntung" tersebut seringkali muncul di ingatan ketika hal-hal tentang Maluku, khususnya Serua, kutemukan di berita-berita.  

Hari itu di pertengahan tahun 2018, aku bertemu dengan Rulland Stevan Melay, seorang dari Serua yang saat itu menjabat sebagai bapa raja atau kepala desa sebuah wilayah bernama Negeri Lesluru, Kecamatan Waipia.

Dahulu, Negeri Lesluru merupakan salah satu desa yang ada di Pulau Serua. Pria yang kerap disapa dengan panggilan “papa ongka” itu mengajariku salah satu syair dari Serua yang berjudul Len To Walin. Dalam bahasa Indonesia berarti ‘besok atau lusa.’ Tiap-tiap liriknya mengandung arti yang sangat dalam mengenai hari-hari terakhir menjelang perpisahan.

‘len to wa lin na nop’a tam men wait na,’ tulis pria bermarga Melay itu di atas secarik kertas putih. Beberapa saat kemudian, ia berkata, “ini artinya ‘besok atau lusa, kami sudah tidak ada. Kami tidak ada lagi,’ nona.” Kalimat itu masih terngiang sampai sekarang.


Lirik lagu Len To Walin yang ditulis Papa Ongka

Papa Ongka dan meja kerjanya.


Ia terus menulis sampai kalimat terkahir yang berbunyi, ‘suran no mnenas mama mela lera.’ Ketika maknanya diingat lagi hari ini, lirik di kalimat terakhir tersebut sangat dalam, karena berarti, “asal kalian ingat kami siang dan malam.”

Barangkali saat menulis syair dari len to walin, Ruland Stevan Melay mengingat lirik-lirik pada lagu berbahasa Serua tersebut sebagai salah satu lagu perpisahan kepada sanak saudara yang hendak merantau. Hari ini, aku kembali menyanyikan dalam-dalam lagu Len To Walin sambil diliputi pertanyaan, “sampai kapan bahasa ini akan terus bertahan? Sampai kapan mereka akan terus diingat di siang dan malam?” 

[1] Diakses melalui: https://www.un.org/en/observances/mother-language-day pada 20 Februari 2021.

[3] Dixon, R. M. W. 1998. The Rise and Fall of Languages. Cambridge, U. K.: Cambridge University Press.

[4] Mufwene, S. S. 2001. The Ecology of Language Evolution. Cambridge, U. K.: Cambridge University Press.

Komentar

Kisah lainnya

Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.

Dua Abad Perjuangan Nona dari Negeri Abubu, Martha Christina Tiahahu

Salam Manis dari Maluku