Padi di Tanah Gambut


Mendung membersamai saat kutumpangi klotok menyusuri kanal menuju Mantangai Hulu, satu desa yg tidak terlalu jauh dari aliran sungai Kapuas. Secara administratif, desa ini merupakan bagian dari Kecamatan Mantangai di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Aku mengunjungi lokasi yang dilimpahi tanah gambut ini di salah satu siang kelabu pada bulan Desember 2018.

Siang itu, di belokan terakhir sebelum sampai di titik tujuan, aku sedikit kaget ketika melihat hamparan lahan gambut yang berisi tanaman padi. Seketika, bayangan kegagalan rezim Orde Baru yang mencanangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah pada 1995 silam, makin dipertanyakan. 'Hari ini, padi bisa tumbuh, kenapa dulu tidak bisa ya?' pikirku. Pertanyaan di kepala beradu dengan bising mesin klotok yang nampaknya sudah mulai beradaptasi dengan telinga.


Nurhadi menunjuk beberapa titik di lahan garapannya

Adalah Nurhadi, pria yang hari itu bersemangat menjelaskan hal-hal "aneh" yang kutemukan di lahan gambut milik pokmas yang kini dikelolanya —bersama rekan lain tentunya. "Ini jenis padi gunung, mbak, padi lokal. Di situ, kami juga punya beje berisi ikan air tawar. Sebelah situ, ada sayur-sayuran yang ditanam ibu-ibu. Kalo di sana, ada sarang burung walet juga," kepalaku mengikuti setiap arah dimana jarinya menunjuk. Perihal beje, ia semacam kolam berisi ikan-ikan yang keberadaannya sempat hilang saat proyek PLG sedang berlangsung.

Dengan langkah kaki yang mantap sambil menenteng ember hitam berisi pakan ikan —yang dibuatnya sendiri, ia mencoba berjalan dari satu titik ke titik lain sambil menjelaskan apa saja yang saat ini berada di depan kami. Sesuatu yang membanggakan tentunya. Jika aku, dan mungkin banyak orang di luar sana, masih terjebak dengan narasi tentang segala bentuk kegagalan Orde Baru di setiap inci lahan gambut Kalimantan Tengah, Nurhadi dan rekan-rekannya sudah melangkah jauh di depan meninggalkan kita yang masih suka menyalahkan. Ia dan banyak orang Mantangai Hulu mencari cara bagaimana mengembalikan fungsi lahan gambut seperti sedia kala, ketimbang sibuk menyumpahi apa yang sudah terjadi di masa silam.

Satu hal yang perlu ditekankan, Nurhadi dan rekan-rekannya hari ini memanfaatkan lahan gambut tanpa harus mengubah komposisi kandungan air yang identik dengan lahan gambut. Maka dari Nurhadi, siang itu aku belajar tentang bagaimana bersahabat dengan gambut tanpa harus membakar lahan, juga tanpa nyala api yg dapat mengundang rugi.



Komentar

Kisah lainnya

Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.

Dua Abad Perjuangan Nona dari Negeri Abubu, Martha Christina Tiahahu

Salam Manis dari Maluku