Tentang Beruang Kutub Kami




"Eh diem-diem... Pak Poo lagi jalan kesini, tidur-tidur"


Pak Poo, beliau adalah orang tua laki-laki dari ibu kost kami. Nama aslinya Pak Syafi, seorang yg tanda tangannya selalu dibubuhi di surat ijin "tidak dapat menghadiri idul adha di sekolah" sebab tiap momen itu, kami sebagai anak kost selalu pulang kampung. Biasanya nama kami akan tercantum di dalam satu surat, membuat salah satu guru agamaku waktu itu sempat tertawa melihat surat kiriman Pak Poo. Badannya besar, rambutnya putih, giginya sudah banyak yg tanggal, maka ketika bergosip tentangnya kami sering menyamarkan beliau dengan sebutan "Beruang Kutub". Biasanya gosip kami tak jauh-jauh dari peraturan asrama Mandilaras yg tertempel di kamar-kamar kami, sebuah karya orisinil dari Pak Poo yg kerap kami perdebatkan. 

Dibanding kamar kami, kamar milik Pak Poo yg sering kami sebut dengan "Kutub Utara" lebih banyak memiliki aneka macam kue kering. jajanan di Mesir saja akan kalah banyaknya (kapan-kapan aku akan bercerita tempat-tempat lain selain Kutub Utara ;)). Hobinya tiap sore adalah membaca al quran di teras kost dengan kacamata tebalnya. Lebih sering lagi, beliau mengenakan kaus putih dengan celana pendek selutut, menyaksikan kami berakativitas di ruang tengah dari "singgasana" di teras kost, tentu dengan sebuah kipas di tangan. Biasanya beliau akan marah pada kami ketika tau ada yg lupa tidak mematikan air di kamar mandi, atau melihat kabel setrika yg lupa dicabut. Tapi paling sering, beliau akan muring-muring ketika tahu jika ada yang tidak mengisi air di "Thailand" selepas memakainya. tapi memang dasar simbah-simbah, setiap hari pasti ada momen dimana beliau memarahi kami, entah untuk sebuah kesalahan atau memang pada hal yang disalah-salahkan.

Saat musim hujan tiba, kadang perasaan risau muncul ketika mendung menggantung di langit, padahal kami di sekolah, sedang saat itu kami punya jemuran di kost. Maka saat pulang sekolah, kami akan terharu sebab Pak Poo telah membantu mengangkati jemuran yg jumlahnya tak sedikit. Kami sangat suka membuka pintu belakang walau jam sudah melewati angka 9 malam yg merupakan jam malam kost, alasannya tak jauh-jauh dari "kepanasan". Ketika tahu kenakalan kami itu, Pak Poo akan bercerita bahwa di belakang kost kami yg merupakan rumah tak berpenghuni milik anaknya, dulu pernah ada kepala yg melayang-layang, seketika pintu belakang segera ditutup saat itu juga. cerita horror versi Pak Poo sebenarnya bermacam-macam, tak hanya itu. satu cerita lain yang masih aku ingat sampai hari ini adalah tentang gulung yang meloncat-loncat, dimana guling tersebut berasal dari "Mesir".

Aku juga masih ingat, saat kelas 10 dulu, mbak Lita sempat iri sebab Pak Poo amat perhatian padaku ketika mengingatkan makan, sampai sering kali beliau mencubiti lenganku ketika tak mau makan, padahal aku adalah anak baru waktu itu, menurut mbak Lita wkwk. Cubitan serupa biasanya diterima teman-temanku (juga aku tentunya) saat kami pulang melewati jam 9 malam dan harus mengemis di depan pintu yg sudah di kunci oleh Pak Poo berjam-jam sebelumnya. Sangat random memang kakek tua itu. Pun "kenakalan" kami yg sudah dianggap sebagai cucu sendiri, kerap membuat Pak Poo geleng-geleng kepala. Akan tetapi semakin sering kami dibuat sebal (begitupun sebaliknya), semakin banyak pula rasa sayang yg muncul di lorong-lorong "rumah" sederhana kami.

Setahun setelah aku meninggalkan rumah masa SMA ku itu, kabar duka datang. Pak Poo yg menemani masa putih abu-abu dengan segenap kasih sayang untuk kami, dipanggil oleh Allah. Tepat setahun lalu, 29 Mei 2016, Pak Poo mencukupkan perjuangannya di dunia untuk bertemu sang istri yg kerap ia ceritakan pada kami, di surga milik Allah. Mungkin kami belum bisa memberikan apa-apa untuk Pak Poo selain doa, tapi kami harap saat ini beliau sedang tersenyum pada kami dari atas sana, seperti senyum kegirangan yg kerap beliau buat ketika berhadapan dengan kamera.


(diedit oleh saya, sekitar 2 tahun yang lalu)


Menutup bulan Mei, ada dua hari peringatan yang agaknya cocok sekali setiap aku mengingat momen bersama Pak Poo. pertama adalah satu tahun meninggalnya Pak Poo yang jatuh pada hari senin, 29 Mei 2017 lalu. satu lagi tentang peringatan Hari Lanjut Usia (Lansia) yang juga jatuh di tanggal 29 kemarin. apapun itu, dalam tulisan singkat ini, aku ingin mengatakan jika aku beruntung pernah bertemu dan menjalani hari-hari SMA ku bersama beliau. kuharap teman-temanku di "asrama" Mandilaras juga memiliki perasaan demikian. sampai kapanpun itu, semoga "Beruang Kutub" kami selalu tersenyum bersama malaikat-malaikat Allah dari atas sana. aamiin.

Komentar

Posting Komentar

Kisah lainnya

Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.

Dua Abad Perjuangan Nona dari Negeri Abubu, Martha Christina Tiahahu

Salam Manis dari Maluku