Tentang Bijaksana

Hari ini, 23 Juni, tepat satu tahun perjumpaanku dengan Mama & Papa Ongka —orang tua asuhku selama menjalani masa KKN. Papa lebih dulu bertemu denganku karena beliau yang menjemput ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di TNS Waipia. Saat itu di kantor kecamatan, postur tubuh Papa tampak menyembul di antara papa-papa lain. Sorotan matanya tajam. Beberapa hari setelahnya aku mengerti, jika sorotan mata itu adalah sebuah keniscayaan yang dimiliki oleh mereka yang pernah melaut sampai jauh.


Hari itu, Mama menyambutku di teras rumah, bersama beberapa anggota keluarga lainnya. Kami duduk saling berhadapan di kursi plastik. Saat itu, tanah masih basah akibat air hujan yang belum lama turun. Sesekali Mama mengusir dua anjing di rumah —siapa lagi kalau bukan Kilat & Guntur— ketika mereka berdua mulai mendekatiku. Di satu sudut, Papen —anak Mama & Papa— bercerita banyak tentang penugasannya selama menjadi pendeta di Sumenep, karena mengetahui jika aku berasal dari Pamekasan. Hari-hari selanjutnya, Papen tak jauh berbeda. Ia ternyata memang gemar bercerita, tentang apapun, seperti Mama.


Seperti cerita sebagian besar teman unitku, bahwa 'diambil anak' oleh keluarga kami di Maluku saat KKN, adalah masa-masa yang mengesankan. Aku pun merasa demikian. Rasa-rasanya, kehidupan keluarga yang ideal kami temukan di Waipia. Sebuah keluarga yang setiap harinya mengisi rumah dengan rasa syukur dan romantisme yang amat manis. Bagiku sendiri, saat-saat bersama Papa menjadi yang melankolis, bahkan terkadang aku harus menahan untuk tidak menangis. Papa seolah mengisi relung-relung kekosongan terhadap figur seorang ayah. Lebih dari itu, rasanya hatiku selalu terkesan melihat Papa begitu perhatian padaku, pada kami, pada anak-anaknya, dan terlebih pada Mama. Cerita-ceritanya saat berlayar, menangkap lumba-lumba, hidup di Serua, hingga tanggung jawab sebagai Raja negeri Lesluru, kerap kali mengisi hari-hari kami —terutama di atas meja makan.


Satu bagian menyenangkan saat bersama Papa, adalah ketika beliau mengajariku dan empat saudara 'Melay' lain, menyanyikan lagu Sio TNS dan Len To Walin. Setiap sebelum makan di minggu-minggu terakhir, beliau rajin melatih kami menyanyikan dua lagu tersebut, agar nanti harmoninya terlihat apik di malam perpisahan dengan warga Negeri Lesluru. Hari ini, tiba-tiba aku rindu dipanggil Nona oleh Papa. Satu lagi, aku rindu mendengar kalimat-kalimat manis yg diucapkan Papa yang memimpin doa setiap kami hendak makan.


Jika Papa lebih memilih diksi Nona untuk memanggil anak perempuannya, maka hal berbeda dilakukan oleh Mama. Perempuan yang dulu sempat mendapat gelar 'Herodes' --akibat terlalu disiplin dan tegas-- memanggil anak-anak perempuan dengan sebutan 'Ina e.' Kata Mama, panggilan itu berarti 'anak perempuanku' dalam bahasa Serua. Selain dari Papa, aku juga banyak belajar kosakata Serua dari Mama. Tentang bahasa Serua, momen-momen yang bagiku menyenangkan adalah ketika menyaksikan Mama dan Papa berdialog dengan bahasa Serua. Aku bermimpi, kelak aku dapat berdialog lancar dengan bahasa Serua seperti yang dilakukan Mama dan Papa Ongka. Aku tak membayangkan bagaimana bahagianya ketika mimpi itu terwujud. Dapat menyanyikan Len To Walin yang full menggunakan bahasa Serua saja, aku sangat senang. Apalagi sampai berdialog dengan lancar.


Banyak hal yang akan selalu kuingat dari percakapan-percakapanku dengan Mama. Hal-hal yang berisi angan-angan di masa depan; seperti diundang ke Serua di Oktober 2019 untuk menghadiri peresmian gereja yang saat ini dalam proses pembangunan; mengabari Mama ketika sudah lulus kuliah nanti --karena Mama ingin mengadakan acara selamatan di Lesluru-- sampai keinginan Mama yang mewacanakan untuk pergi ke Jakarta, ibukota Indonesia. Pun pesan-pesan tentang hidup dan kehidupan yang teramat banyak dari Mama, juga akan coba selalu kuingat dan terapkan.


Di hari terakhir perjumpaan kami, untuk kedua kalinya Mama berpesan padaku agar kelak mencari pendamping hidup yang bijaksana. Untuk pertama kalinya, Mama menyampaikan pesan itu saat kami kedatangan tamu dari kantor polisi dekat Pusat Desa. Namun bagiku, penyampaian kedua tentang bijaksana ini, lebih menyentuh relung hati karena diucapkan sesaat sebelum kepergianku dari rumah kami di Lesluru.


"ina e, kalau ini menjadi hari terakhir katong berjumpa, mama cuma titip pesan pada mama pung anak nona; kelak, cari pasangan yg bijaksana. karena ketika laki-laki sudah bijaksana, dong akan menghargai dan mencintai apapun yg nona lakukan," ucap Mama pagi itu, sembari memegang tanganku. Seperti halnya aku, pagi itu Mama juga tampak menangis.





Setiap mengingat pesan Mama tentang kebijaksanaan, aku kemudian melihat kesamaan antara apa yang disampaikan Mama --yang seorang Nasrani-- dengan apa yang pernah diajarkan Buddha. "Kasih sayang secara spontan berasal dari kebijaksanaan," begitu yang diajarkan Buddha. Pada kalimat lain, pernah juga kutemukan di kisah perjalanan Eric Weiner yang dituangkan dalam The Geography of Faith saat dirinya bertemu seorang Rinpoche di Kathmandu, Nepal. Nasihat Rinpoche saat itu berbunyi, "dahulukan kebijaksanaan, baru cinta."


Setiap mengingat hal-hal yang kualami semasa KKN di TNS Waipia, rasanya tidak akan pernah ada kata selesai untuk merindukan mereka yang kutemui di sana. Sama seperti dataran Nepal yang teramat ingin kusambangi sebagai salah satu impian sejak masa tua sekolah dasar, bertemu kembali dengan orang-orang yang kucintai di Waipia --dua diantaranya adalah Mama dan Papa-- juga menjadi bagian dari daftar keinginan yang ingin kulakukan.

Komentar

Kisah lainnya

Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.

Dua Abad Perjuangan Nona dari Negeri Abubu, Martha Christina Tiahahu

Salam Manis dari Maluku