Linda Bercerita Linda
Hari ini di tiga lalu. Kami keluar dari ruangan yang sudah dua hari menjadi arena belajar. Putri Bang Ucok --Rusdi Marpaung-- duduk di depan piano hitam yang tepat diletakkan di depan 'ruang belajar' kami. Ia sudah siap memainkan lagu 'selamat ulang tahun.' Jakarta saat itu sudah petang. Suka hujan juga seperti akhir-akhir ini.
Hari itu kalender menunjukan angka 18 di lembar bulan Maret, yang menandakan hari ulang tahun salah satu mentor, sekaligus editor buku kami (re: Dari Sergai Ke Kefa). Mentor dan editor yang kumaksud adalah Linda Christanty. Sehari sebelumnya, untuk pertama kalinya aku bertemu perempuan berkacamata yang kemudian kupanggil "Mbk Linda." Ya, nama depan kami sama. Rasanya agak aneh setiap bertemu dengan siapapun yang memiliki nama kembar. Apa kalian juga pernah merasakan hal yang sama?
Oiya, aku hampir saja lupa. Diksi "kami" dalam "mentor kami" berarti sepuluh anak muda Indonesia, termasuk aku, yang pada Maret 2018 berkesempatan mendapat beasiswa menulis yang disponsori oleh GEF-SGP Indonesia. Selain Linda Christanty, ada beberapa jurnalis senior dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta yang terdaftar sebagai mentor-mentor kami. Ada Samiaji Bintang, Dicky Lopulalan, Hanif Suranto, Najib Abu Yasser, Ignatius Haryanto, dan Rusdi Marpaung. Namun, khusus untuk sesi pelatihan menulis di kelas, Linda Christanty lebih banyak tampil.
"Wah, nama kita mirip," ucap Mbak Linda pagi itu, saat sesi perkenalan. Aku berbalas senyum dan mengiyakan.
"Oh jadi ini si penulis 'Rahasia Selma' itu?" kataku dalam hati.
Sebenarnya aku mulai tahu tulisan-tulisan Linda Christanty di masa-masa awal kuliah, kisaran tahun 2016. Perjumpaanku dengan tulisan Mbak Linda dijembatani oleh kisah bertajuk 'Catatan Tentang Luta, Manusia yang Hidup Abadi.' Tulisan yang kubaca di laman salah satu media terbaca olehku karena bercerita tentang Helmut Herzog, seorang antropolog dari Jerman yang meneliti tentang orang-orang yang hidup abadi. Saat itu, sebagai mahasiswa baru di bidang antropologi, aku merasa senang ketika menemukan tulisan ini.
"Aku diajari menulis oleh seorang yg tulisannya kusuka, senang sekali rasanya," gumamku saat itu, di dalam hati. Hmm, sebenarnya bukan hanya senang, tapi campur aduk!
Selama sesi kelas berlangsung, banyak 'petuah' ajaib yg kudapat dari Mbak Linda.
'Bertemanlah dengan tukang ojek setiap kamu turun ke lapangan," bunyi salah satu trik mencari data dalam dunia jurnalistik versi Mbak Linda. Aku kemudian mempraktekan itu ketika melakukan reportase lapangan ke Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur. Reportase ini juga bagian dari rangkaian beasiswa kepenulisan yang saat itu kujalani. Selanjutnya, lagi-lagi Mbak Linda banyak berperan dalam naskah pertamaku yang diterbitkan. Tidak hanya mentor menulis, beliau juga merupakan editor naskahku yang berjudul "Mama Yovita." Naskah pertama yang diterbitkan pada akhir 2018 lalu.
Jika mengingat kenangan di tiga tahun lalu, rasanya tidak menyangka akan bertemu dengan Linda Christanty dalam suasana yang, sekali lagi, juga tidak kusangka. Apalagi sampai ikut merayakan hari ulang tahunnya.
Hari ini, tepat di tanggal 18 Maret, adalah hari ulang tahun Linda Christanty. Tidak terasa waktu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin kami memberi kejutan sederhana untuk Mbak Linda.
Selain mengingat kembali tentang kali pertama berjumpa dengan Mbak Linda, di hari ulang tahunnya hari ini, aku juga ingin mengunggah satu laman 'Hikayat Kebo,' salah satu buku kumpulan tulisannya yang kusuka. Salah satu halaman dalam buku itu memuat satu petikan kalimat menarik berbunyi:
''kepedihan, rasa bahagia dan harapan dibagi dengan bermacam cara agar kita bisa bertahan.''
Komentar
Posting Komentar