Terimakasih, Maluku, Aku Beruntung Menjadi Minoritas.
Dua angka di kalender bulan Oktober, 9 dan 22, menjadi
penanda yang akan terus diingat untuk waktu-waktu selanjutnya. Di antara kedua
angka ajaib ini, aku banyak sekali memproduksi kisah untuk dicatat dalam bagian
tertentu dalam kepala. Kisahku kali ini adalah tentang Aku yang bertemu
sekumpulan orang dalam lingkaran bernama Ekspedisi Jalur Rempah 2017, Provinsi
Maluku. Keberuntungan yang kudapat sehingga bisa bergabung dalam forum ini (karenanya
Aku bisa “merampok” banyak pengalaman hidup) menuai banyak ucapan terima kasih
dariku untuk banyak pihak yang sebenarnya tidak bisa kusebut satu-persatu, akan
tetapi postingan ini justru ditujukan kepada mereka. Kepada siapapun ciptaan
Tuhan yang terlibat dalam pembuatan kisah manis antara Aku dan Maluku.
Baik, mari kita mulai.
Terima kasih pertama, untuk Dirjen Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, baik kepada jajaran
pemimpin di dalamnya, penginisiasi kegiatan Ekspedisi Jalur Rempah 2017, hingga
segenap panitia yang terlibat –mulai dari panitia pusat hingga lokal. Terutama
untuk Mbak Devi (panitia pusat batch 1 yang sekaligus merupakan senior saya di
Antropologi UGM), dimana berkat share informasi dari beliau-lah saya
bisa mendapatkan kesempatan untuk terbang ke Maluku. Dalam kategori
per-panitia-an ini, mungkin akan saya masukkan juga para mas-mbak EO yang di
hari-hari terakhir mulai kupahami perannya (bahwa sebenarnya mereka kebanyakan
mahasiswa semester akhir yang tidak memiliki ikatan apa-apa dengan Kemendikbud,
hehe).
Terima kasih kedua, kepada Tanah Maluku yang indah! Sebuah mimpi yang akhirnya
menjadi nyata ketika berhasil menginjakkan kaki di Maluku untuk pertama kali.
Sedikit cerita, awal semester 5 lalu, entah karena dorongan apa aku mencetak peta
provinsi Maluku untuk ditempel pada sampul buku kuliah dan mading di kamar. Ada
harapan kecil yang ditautkan pada keduanya, “ah, barangkali tahun depan Aku
bisa KKN disana”. Pun selanjutnya muncul motivasi macam “ayo nabung yang
banyak buat ke Maluku!” “ayo cari tim buat jadi pengusul KKN di Maluku!”
dan sebagainya, dan sebagainya. Kemudian, keajaiban terjadi dengan bergabungnya
aku dengan tim Ekspedisi Jalur Rempah, lewat pemberitahuan via telepon yang
kuterima senin pagi, September lalu.
Maluku benar-benar mengajarkanku bagaimana caranya
menjadi seorang minoritas melalui proses yang indah. Awalnya tak ada yg
benar-benar berbeda saat pertama kali mendaratkan kaki di Ambon, selain
rupa-rupa baru yang kutemui di bandara Pattimura pagi itu. ohya, bahasa yang
digunakan mereka pun masih kumengerti, setidaknya aku pernah berada di antara
orang-orang yang sama sekali tak kumengerti bahasanya seperti orang-orang sepuh
di bukit-bukit Paninggraan, Pekalongan. Namun Kota Ambon hanyalah sebagian
kecil dari Maluku, sebab semua berbeda saat aku mulai menginjakkan kaki di
Saparua, Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Disini aku disambut oleh masyarakat yang
sebagian besar beragama Nasrani. Pun Mama Papa piara sebagai keluarga yang
“menampungku” selama di Saparua, juga merupakan keluarga Nasrani yang memiliki
seekor anjing cokelat manis bernama Nona.
Segala kebaikan yang kudapatkan di Saparua membuatku merasakan bagaimana menjadi seorang minoritas dalam konteks paling sensitif di negeri ini. Seminggu menjalani kehidupan bersama keluarga dan lingkungan Nasrani ternyata memberiku banyak sekali hal baru; melihat bagaimana seorang Mama menyiapkan segala sesuatu untuk ibadah di rumah; mendengarkan Mama, Papa dan teman-temannya mengalunkan ayat-ayat suci di ruang depan; menyaksikan Negeri Tiouw sebagai negeri tempat tinggalku, benar-benar sepi di minggu pagi. Aku seringkali terharu akan banyak hal-hal sederhana yang diberikan oleh Saparua dan orang-orang di dalamnya. Masih segar diingatan bagaimana tiap pagi mama bangun menyiapkan sarapan, apalagi disaat hari kepulangan kami ke Ambon. Mama, Papa, juga Nona, melepas kepergian kami di pagi buta. Aku juga ingat betul bagaimana Pak Agustinus selaku Pejabat Negeri menutup perpisahan kami dengan doa Nasrani yang entah mengapa membuat malam itu air mataku mengalir sebab merasakan banyak hal; bersyukur, terharu, sedih sekaligus senang.
Segala kebaikan yang kudapatkan di Saparua membuatku merasakan bagaimana menjadi seorang minoritas dalam konteks paling sensitif di negeri ini. Seminggu menjalani kehidupan bersama keluarga dan lingkungan Nasrani ternyata memberiku banyak sekali hal baru; melihat bagaimana seorang Mama menyiapkan segala sesuatu untuk ibadah di rumah; mendengarkan Mama, Papa dan teman-temannya mengalunkan ayat-ayat suci di ruang depan; menyaksikan Negeri Tiouw sebagai negeri tempat tinggalku, benar-benar sepi di minggu pagi. Aku seringkali terharu akan banyak hal-hal sederhana yang diberikan oleh Saparua dan orang-orang di dalamnya. Masih segar diingatan bagaimana tiap pagi mama bangun menyiapkan sarapan, apalagi disaat hari kepulangan kami ke Ambon. Mama, Papa, juga Nona, melepas kepergian kami di pagi buta. Aku juga ingat betul bagaimana Pak Agustinus selaku Pejabat Negeri menutup perpisahan kami dengan doa Nasrani yang entah mengapa membuat malam itu air mataku mengalir sebab merasakan banyak hal; bersyukur, terharu, sedih sekaligus senang.
Kawan, ada satu lagi hal menarik yang kutemukan di
Maluku, tentang sistem Pela Gandong yang menjadikan orang-orang Maluku saling
terikat satu sama lain. Awalnya aku banyak “dijejali” kisah persaudaraan ini
dari Aida, Wanda dan Nadira, tiga temanku yang berdomisili di Ambon. Lambat laun,
seiring bertambahnya interaksi dengan orang-orang Maluku, makin banyak pula
kuserap semangat persaudaraan dari sistem Pela Gandong ini. Pela dan Gandong
merupakan dua hal yang berbeda namun berada dalam satu kesatuan. Pela merupakan
ikatan persaudaraan antara satu negeri dan negeri lain yang lokasinya
berjauhan, tetapi masih dalam lingkup Maluku. Salah satu aturan yang mengikat
dalam sistem Pela adalah dilarang terjadi adanya ikatan pernikahan antar
saudara yang terikat Pela. Pela muncul karena adanya satu kesamaan nasib,
dimana para leluhur mereka dahulu pernah menjalani kehidupan yang susah dan
senang secara bersama-sama sehingga saling membantu. Leluhur ini kemudian
mengangkat sumpah yang menyatakan bahwa mereka adalah saudara yang kelak
keturunannya tidak boleh melakukan ikatan perkawinan. Sedangkan Gandong, dikisahkan
jika mereka yang terikat Gandong memiliki satu nenek moyang yang sama. Mereka yang
terikat sistem Gandong pun juga sama, tidak boleh melakukan perwakilan, sebab
jika hal ini terjadi, akan dikenai sumpah oleh leluhur mereka. Orang Ouw
di Saparua yang merupakan kampung Kristen, misalnya, menggap orang Sei di pulau
Ambon sebagai Gandong mereka karena merasa bahwa mereka berasal dari satu garis
keturunan, walau Sei sebagai kampung dengan mayoritas Muslim. Larangan dan
sanksi-sanksi dalam hubungan gandong hampir mirip dengan larangan-larangan dan
sanksi-sanksi dalam hubungan pela. Karena itu orang seringkali menyebut
pela-gandong, walaupun keduanya merupakan dua hubungan kekerabatan yang latar
belakang pembentukannya berbeda satu dengan yang lain.
Maka,
dari segala hal yang sudah kudapat, Maluku bagiku adalah tentang kemurahan
hati. Maluku adalah tentang orang-orang yang percaya bahwa manusia tidak
dipersoalkan dengan masalah identitas, karena saling mencintai dan mengasihi
antar sesama harusnya tak tersekat oleh batas-batas. Lewat sistem dan pola hidup Pela-Gandong,
mengajarkan kepadaku bahwa persaudaraan dapat terjalin, melampaui batas suku
dan agama. Menjadi saudara berarti saling merasakan satu sama lain, seperti kata
kaos oblong yang kubeli di Pasar Mardika sore itu, Ale Rasa, Beta Rasa. Maluku
adalah tentang orang-orang yang dipersatukan oleh Laut, Kenari, Pala, Sagu dan
segala hal yang dijual di pasar-pasar negeri. Maluku juga tentang memaafkan
luka sejarah yang telah ditoreh, mengingatkan bahwa seharusnya manusia “beragama”
kepada keberagaman dan kebaikan. Dan Maluku bagiku adalah tentang alunan musik
yang senantiasa berdendang dalam Oto warna-warni, pun tentang rupa-rupa bahagia
diantara hentakan kaki pada iringan lagu Tobelo.
Terima kasih ketiga, kusampaikan pada teman-teman EJR ku yg berasal dari Sabang
sampai Merauke, terkhusus koridor Saparua. Dari kalian pun, aku juga belajar
bagaimana menjadi minoritas. Pembelajaran sebagai seorang minoritas yang
kurasakan disini adalah menjadi 'asing' di tatanan bahasa. Bersama mereka, aku
sadar jika menjadi Jawa tidak berarti apa-apa (padahal sebenarnya aku Cuma numpang
hidup di Jawa, sih, bukan asli Jawa). Tapi tetap saja, baru kali ini, di
lingkaran ini, aku mendapat gelar Medok, bahkan Ngapak. Aku masih ingat betul
bagaimana Alan Aceh memanggilku Jeblok, yang seolah mengidentikkan
seorang Linda dengan Jawa yang medok. Aku juga
ingat saat Mas Adit yang juga perwakilan Jawa Tengah (tapi asal Jakarta)
bertanya padaku tentang "De Pe" yang sering disebutkan oleh Bang
Kasmat asal Gorontalo. Peristiwa ini membuatku bersyukur, setidaknya bukan aku
saja yang merasakan bertanya-tanya tentang “De Pe” milik Bang Kasmat. Maka
disini, aku seolah menjadi penonton dua kubu besar dimana aku tidak termasuk
dalam keduanya; antara mereka yang mendiami Sumatra dengan dialek Melayu yg
khas, juga mereka yang berasal dari Maluku, Nusa Tenggara dan Papua yang suka
sekali menyingkat kata. Aku merasa terjebak diantara dua kelompok ini, sebagai
seorang 'Jawa' yang sedikit kesusahan menyerap percakapan ketika dua kelompok
besar ini saling melontarkan kekhasan mereka dalam berbahasa.
Jadi, untuk segala percakapan dengan banyak warna yang sudah kita bangun selama dua pekan kemarin, kuucapkan terima kasih banyak kepada kalian; Alan Sabang, Tami Palembang, Risa Padang, Nurmi Riau, Andre Lampung, Fikri Jakarta rasa Bengkulu, Mas Adit Semarang rasa Jakarta, Herlan Samarinda, Kak Tajir Mandar, Bang Kasmat Gorontalo, Bang Elvan Maumere, Miki Papua, Aida-Nadira-Wanda-Bang Ijal-Riski selaku tuan rumah dari Maluku. Juga pendamping-pendamping Tim Saprua; Bang Dodot, Bang Ian, Pak Pieter, Pak Nurwahyudi & Bang Andre. Di postingan lain, mungkin akan kuceritakan kalian dengan rinci, agar ingatanku akan kalian juga terekam dalam laman digitalku ini. Terima kasih, kawan-kawan EJR! Tanpa masuk ke dalam lingkaran ini, mungkin aku tidak akan mengerti bagaimana rasanya menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri bersama orang-orang dengan logat berbeda tapi bercampur menjadi kesatuan harmoni yang indah :)
Terakhir, selain berterima kasih kepada Tuhan dan Ibu yang selalu mendoakanku dari kejauhan, aku pun harusnya berterima kasih kepada diriku sendiri yang sudah berhasil menyerap energi-energi positif dari orang-orang baru yang ketemukan di negeri para raja, Maluku.
Jadi, untuk segala percakapan dengan banyak warna yang sudah kita bangun selama dua pekan kemarin, kuucapkan terima kasih banyak kepada kalian; Alan Sabang, Tami Palembang, Risa Padang, Nurmi Riau, Andre Lampung, Fikri Jakarta rasa Bengkulu, Mas Adit Semarang rasa Jakarta, Herlan Samarinda, Kak Tajir Mandar, Bang Kasmat Gorontalo, Bang Elvan Maumere, Miki Papua, Aida-Nadira-Wanda-Bang Ijal-Riski selaku tuan rumah dari Maluku. Juga pendamping-pendamping Tim Saprua; Bang Dodot, Bang Ian, Pak Pieter, Pak Nurwahyudi & Bang Andre. Di postingan lain, mungkin akan kuceritakan kalian dengan rinci, agar ingatanku akan kalian juga terekam dalam laman digitalku ini. Terima kasih, kawan-kawan EJR! Tanpa masuk ke dalam lingkaran ini, mungkin aku tidak akan mengerti bagaimana rasanya menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri bersama orang-orang dengan logat berbeda tapi bercampur menjadi kesatuan harmoni yang indah :)
Terakhir, selain berterima kasih kepada Tuhan dan Ibu yang selalu mendoakanku dari kejauhan, aku pun harusnya berterima kasih kepada diriku sendiri yang sudah berhasil menyerap energi-energi positif dari orang-orang baru yang ketemukan di negeri para raja, Maluku.
(Ibu penjaga salah satu dusung/kebun di Saparua)
(Tim EJR Pulau Saparua)
(Aku dan anak-anak Negeri Tiouw)
(Nona Van Tiouw)
Pengeennnnn juga mbak 😔
BalasHapushaha, kuy kuy. semoga kalo tahun depan ada, anak kehutanan bisa ikutan
HapusSeperti Sirus, Seperti Tirus, Seperti Sirius, oh, aku suka blog-mu, aku suka tulisanmu :):):). Berfaedah euy dibanding ribut vs anak Haruku di grup besar wkwkkw. Keep menulis ya LINDOS
BalasHapusHAHAHAHAHA, danke banya pak ketuaku! gapapa lah ribut2 dengan pela Haruku, biar grup besar tidak mati wkwk
Hapus