Berselaras
Sudah empat hari matahari sukar sekali muncul di Desa Les, tempatku tinggal saat ini. Hujan terus datang bersama gemuruh ombak yang makin malam, suaranya makin nyaring. Sudah dua bulan aku di sini, tapi beberapa hari terakhir adalah hari dimana udara terasa begitu dingin. Tentang Desa Les, seumpama kamu penasaran dengan letak desanya, coba saja bentangkan peta Pulau Bali. Nanti di bagian utara --biasanya arah utara berada di sisi atas peta-- kamu akan menemukan sebuah desa bernama Les, bagian dari Buleleng yang melingkupi pesisir utara pulau Bali.
Selain masalah sepele seperti jemuran yang tak kunjung kering dan malam-malam dingin bersama sepasang kaos kaki yang enggan terlepas, empat hari ini banyak hal yang melayang-layang di dalam kepalaku. Selain hal-hal personal, kabar bencana di banyak tempat juga membuat kepalaku pusing, sesekali juga dadaku sesak membayangkan betapa di hari-hari terakhir ini banyak orang yang tengah berada dalam kondisi sulit. Suara Kunto Aji dan Nadin Amizah kemudian kupilih untuk menemani hari-hariku yang sepertinya terasa lebih berat ketimbang hari-hari sebelumnya.
Keduanya bernyanyi bersama untuk sebuah judul lagu bertajuk "Selaras." Empat hari terakhir, di setiap sore dan malam, 'selaras' kuputar berulang-ulang, menamani kepalaku yang terkadang kosong sekaligus terasa penuh. Suara keduanya juga kerap kubawa serta dalam mimpi-mimpi panjangku. Perasaan semacam seporsi siomay hangat kerap hadir ketika aku mendengar 'selaras' di beberapa hari terakhir. Lantunan keduanya kerap membawaku kepada perasaan hangat dan lembut, seperti ketika aku sedang menggigit kentang dan tahu rebus yang kutemukan di balik kuah kacang seporsi siomay. Tapi kemudian perasaan itu bisa secara tiba-tiba berganti menjadi sedikit lebih pahit dan berserat, seperti buah pare dan kubis rebus yang ketika memakannya, aku kerap membayangkan apakah ada seekor dua ekor ulat sayur bersembunyi dan tidak sengaja ikut direbus.
Selain 'rasanya' sangat mirip dengan siomay yang sulit ditemui di sini, satu-dua penggalan lirik dalam 'selaras' juga terasa mewakili apa yang terlihat akhir-akhir ini. Beberapa bencana alam yang datang oleh sebab tangan manusia --seperti banjir dan tanah longsor-- seolah memberi isyarat dari alam kepada manusia, yang diwakili oleh 'selaras' lewat penggalan:
langit yang membiru, hangat matahari, berbisik padaku, 'tolong beri kami waktu.'
Kami' dalam 'selaras,' tiba-tiba berubah wujud menjadi alam, menjadi bumi tempat kita bernaung. Setidaknya itu yang ada dalam bayanganku akhir-akhir ini. Tentang alam dan waktu, aku jadi teringat dengan tema yang diangkat di peringatan hari lingkungan hidup tahun lalu, yakni "time for nature." Keduanya --penggalan lirik dan tajuk hari lingkungan-- sama-sama memberi pesan bahwa alam juga butuh waktu; beristirahat dari gempuran aktivitas manusia yang rasa-rasanya semakin jauh dari arif terhadap alam.
Saat 'selaras' sampai di bagian yang berbunyi, "ini tentang merawat kehidupan," ingatanku pergi ke pertemuan-pertemuan dengan mereka yang jatuh bangun merawat kehidupan; Pak Yatiman dengan penyu-penyu di Bantul; mama-mama penenun di Desa Tokbesi, Timor yang tangannya berwarna akibat mengkudu; Eva di Freiburg yang di halaman samping rumahnya ditumbuhi bermacam bunga untu dihuni para lebah; sampai para nelayan ikan hias di Desa Les, Bali, yang kini sudah lama meninggalkan praktek menangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Bagiku, mereka adalah para perawat kehidupan; perawat ibu bumi lewat cara-cara yang mungkin belum terpikirkan oleh orang-orang kebanyakan.
'Selaras' kemudian tidak hanya membawaku pada kerinduan akan seporsi siomay hangat, tetapi juga kepada mereka yang merawat kehidupan. Mereka yang kehadirannya menjadi harapan-harapan yang masih menyala di antara banyak kabar sedih yang kuterima belakangan ini. Mereka yang lewat hati dan tindakannya, mengupayakan diri untuk berselaras dengan alam. Walau, ya, menyelaraskan diri dan membaur dengan kondisi tidaklah mudah untuk saat ini.
Komentar
Posting Komentar