Film Pilihan Selama 2017
Di 2017, saya terbilang lebih sering menginjakkan kaki ke bioskop dibanding 2016. Salah satu faktor utamanya mungkin karena saya merasa makin banyak film-film yang masuk dalam kategori "Linda banget," hehe. Senangnya, tahun ini bioskop-bioskop kita makin banyak mengangkat film-film karya anak bangsa yang sebelumnya lebih sering kita jumpai di festival-festival film. Nah, di bawah ini saya akan sedikit menjabarkan tentang 6 film Indonesia yang berhasil saya tonton dan membawa pesan dan kesan menarik untuk diceritakan.
Istirahatlah Kata-kata
Awal kuliah semester 4, beberapa hari setelah mendaratkan kaki di Jogja, Saya ditemani Sekar dan Dwings memutuskan untuk menyaksikan film mengenai Wiji Thukul, seorang pembuat sajak sekaligus pemberontak di masa orde baru yang hingga saat ini tidak jelas keberadaanya. Sepanjang film, mayoritas kami sebagai penonton disuguhi oleh kesunyian, dibiarkan bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Alurnya tenang, namun berhasil menceritakan bagaimana perlawanan Wiji Thukul lewat pembawaan yang tenang tapi mendebarkan. Gunawan Maryanto sebagai pemeran Wiji Thukul -yang kemudian saya sadar jika beliau satu almamater hehe- berhasil membantu saya membayangkan dengan lebih jelas seperti apa sosok Wiji Thukul yang puisinya melekat di hati sebagai simbolisasi perjuangan kaum akar rumput. Oya, judul film ini juga merupakan judul puisi karya Wiji Thukul yang punya makna dalam sekali~~
Ziarah
Dengan tagline #MeiBerziarah, saya memutuskan untuk turut berziarah bersama Mbah Sri, pemeran utama dalam film yang diperankan oleh Mbah Ponco, simbah dari Gunung Kidul berusia 90 tahun. Alur utama dari film ini adalah kenekatan Mbah Sri untuk mencari pasangan kerisnya yang tidak lain adalah milik suaminya yang sudah meninggal, Mbah Pawiro Sahid.
Bersama Mbah Sri, kita diajak nyekar tanpa banyak basa basi, diajak menyaksikan perjuangan Mbah Sri mencari makam milik suami yang dahulu pamit untuk berangkat perang. Alasannya sederhana, Mbah Sri ingin ketika ia meninggal nanti, bisa dimakamkan di samping makam suaminya.
Ending film yang sekaligus memberikan jawaban atas perjalanan dan pencarian Mbah Sri selama ini, sungguh di luar dugaan. di bagian ini, saya benar-benar menangis. rupanya Mbah Pawiro bukan meninggal karena perang, bahkan beliau masih hidup hingga beberapa tahun kemudian. Ia tak pulang karena menikah dengan orang lain, yang saat itu makamnya ditemukan oleh Mbah Sri bersebelahan dengan makam Mbah Pawiro.
Ibarat sebuah ekspresi, Film Ziarah adalah cinta. Tidak perlu rayuan, tersirat dan tidak perlu dibumbui oleh air mata. dan karena diibaratkan sebagai cinta, Film Ziarah mengajak kita untuk berdamai dengan masa lalu seperti yang dilakukan Mbah Sri.
Negeri Dongeng
Dari semua film yang saya ulas disini, Negeri Dongeng merupakan satu-satunya film yang mencurahkan banyak kesabaran untuk 'sekedar' menunggu tayang. Di balik film ini terdapat 7 pendaki utama yang berambisi menjejakkan kaki di 7 puncak tertinggi Indonesia, mereka bernama Aksa7. Beruntung pada 2014 lalu, saya bertemu mereka di Gunung Rinjani sebagai tanah tertinggi di gugusan Nusa Tenggara. Sejak saat itu, saya selalu mengikuti perkembangan tim ini lewat official media yang mereka punya. Penantian selama 3 tahun ternyata lebih tinggi dibanding ekspektasi yang saya bangun. Negeri Dongeng tidak hanya bercerita tentang puncak-puncak tertinggi di negeri ini, lebih dari itu, cerita lain untuk mencapai ketujuh puncak tertinggi juga turut dikisahkan dengan apik.
Negeri Dongeng memulai perjalanan dari barat menuju timur Indonesia. Di Sumatera, selain menampilkan kegagahan Kerinci sebagai gunung api tertinggi di Indonesia, Anggi dkk juga mengajak kita menengok fakta tentang perkebunan teh disana. Di Jawa, dikisahkan tentang petani-petani yang penghasilannya tak seberapa sehingga memutuskan tim Aksa7 membeli hasil panen para petani di desa Ranu Pani untuk dijadikan logistik selama pendakian di Semeru. Saat di Rinjani, rasa haru muncul saat beberapa diantara mereka rela merayakan hari Natal di gunung demi mimpi naik gunung yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak ada gunanya. saat mendaki Bukit Raya di Kalimantan, tim bertemu dengan para penambang di sekitaran gunung yang merasa jika tindakan mereka dianggap bukan merupakan suatu kesalahan yang dapat merusak lingkungan.
Memasuki wilayah timur Indonesia, dimulai dengan Latimojong di Sulawesi. Dalam kisah di gunung ini, Negeri Dongeng memberikan fakta tentang betapa susahnya akses kendaraan menuju desa terdekat. disini pula, kekompakan mereka sebagai sebuah tim diuji, dengan tetap berangkat tanpa satu rekan demi mengejar ambisi, atau mengurungkan niat untuk tetap naik. selanjutnya, pendakian Binaiya menjadi salah satu yang mengundang haru bagi saya. di kaki gunung tertinggi di tanah Maluku ini, tenaga pendidik benar-benar jauh dari kata cukup. Negeri Dongeng mengajak kita menyelami kisah perjuangan guru di salah satu desa di Pulau Seram, Maluku, sebagai manusia penyalur ilmu yang berjuang demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Cartenz Pyramid menjadi puncak terakhir yang sekaligus sebagai puncak tertinggi di Indonesia. salut sekali saat menyaksikan mama-mama menjadi porter pendakian, yang membawa anak-anak mereka untuk turut serta. Pendakian tanah Papua merupakan edisi pendakian dengan personel paling banyak, hehe.
Negeri Dongeng sukses menyajikan suguhan apik alam Indonesia yang kaya, beragam dan penuh kisah tak terduga di baliknya.
Marlina the Murderer in Four Acts
Tahun 2017 menjadi tahun saya belajar masalah Gender. di semester 4 saya mengambil mata kuliah kajian gender, di semester 5 saya pun mengambil mata kuliah kajian konflik yang sebagian besar menceritakan ketimpangan gender yang dialami perempuan yang seringkali menjadi korban dalam konflik maupun kekerasan. Menuju penghujung tahun 2017, saya akhirnya memutuskan untuk menyaksikan Marlina sebagai salah satu film yang menurut teman-teman antro dianggap sebagai yang "gender banget!"
Memang benar, film besutan Mouly Surya ini menampilkan sisi feminis yang mampu menjadikan pemeran utama, Marlina, sebagai perempuan yang berani mengambil sikap -memenggal kepala Markus si pemerkosa untuk dibawa ke kantor polisi. Bersama Novi, rekannya yang tengah hamil 10 bulan, dua perempuan Sumba ini digambarkan sebagai perempuan yang tidak lagi berperan sebagai objek, melainkan manusia yang memiliki naluri dan tekad untuk bertahan.
selain alur cerita yang tidak biasa, penonton juga dimanjakan oleh visualisasi yang apik, membuat siapapun sepertinya berniat untuk ke Sumba sehabis menonton Marlina, termasuk saya. Mendengar setiap percakapan yang ada di film, membuat saya rindu dengan percakapan selama di Maluku bersama basudara di sana. Marlina membuat saya rindu pada timur!
oya, saya terharu ketika menjelang film berakhir terdapat adegan Novi berhasil melahirkan dan dibantu oleh Marlina, setelah sebelumnya Novi menyelamatkan Marlina dengan memenggal kepala pria yang tengah menyetubuhi Marlina. Sesaat setelah bayi Novi lahir, mereka berdua menangis haru, yang menurut saya menjadi simbolisasi keberhasilan dua perempuan hebat yang mampu membabat ketidakadilan. di dalam adegan ini, baik Novi maupun Marlina sama-sama mengenakan baju berwarna biru tua dan bawahan berwarna merah, dimana secara kebetulan sekali malam itu saya mengenakan outfit dengan warna yang sama seperti mereka berdua. Sepulang dari bioskop saya kemudian tahu jika warna biru dan merah merupakan dua warna asli tenun Sumba sebelum belakangan ini dicampuri oleh warna-warna lain. Saya belum mengerti secara pasti tentang alasan dari mbak Mouly Surya memilih dua warna ini, kapan-kapan kalo ketemu Mbaknya, akan coba saya tanyakan hehe.
sedikit tambahan, beberapa hari setelah menonton film Marlina, ada satu hal lain yang terus melekat selain alur cerita yang disajikan; petikan jungga oleh Markus yang kerap kali digambarkan dengan kondisi badan tanpa kepala.
Tengkorak
Di dalam link ini saya bercerita tentang film Tengkorak yang ternyata merupakan hasil karya akademisi di kampus UGM. Beberapa pemain di dalam film bergenre fiksi sains ini juga melibatkan tokoh-tokoh penting di UGM seperti Pak Panut sebagai Rektor UGM, Pak Made Andi sebagai salah satu dosen Geologi UGM favorit saya, serta satu dosen antropologi, Mas Made ternyata berperan sebagai salah satu pimpinan tentara dalam film ini.
Tarling is Darling
Selain Tengkorak, Tarling is Darling menjadi satu dari tiga film yang saya ulas atas dasar tugas liputan di JAFF-Jogja Netpac Asian Film Festival ke-12. Saat memilih film ini sebagai bahan liputan, sesungguhnya saya tidak tehu-menahu tentang apa yang nantinya ditayangkan dalam film ini. Barulah setelah mencup jadwal, H-1 saya menyaksikan trailer film yang ternyata membuat saya kaget sebab harus menelan fakta jika saya akan ditemani iringan musik dangdut ala Indramayu selama film diputar, hehe. Review lengkapnya, silahkan kunjungi liputan saya disini. Yang berkesan dari film ini menurut saya adalah proses pembuatannya. di dalam sesi Q&A saat itu, sang sutradara bercerita banyak mengenai lika-liku pembuatan film yang menurut saya berhasil membenturkan dua hal yang bertolak belakang lewat cara yang apik.
2018 nanti, saya berharap dapat lebih banyak menyaksikan karya-karya sineas tanah air. Semoga saya lebih rajin lagi untuk menyisihkan rupiah agar lebih lancar melenggang ke bioskop, hehe.
Komentar
Posting Komentar