Lihat! Ada Bukit di Utara!
Pernahkah kamu merasakan jatuh cinta? Makhluk
bernama jatuh cinta itu unik, dia bisa datang dari mana saja.
Hadirnya dapat melalui rintik hujan, bau nasi goreng di pertigaan yang ramai
tiap malam, potongan lagu dari band metal, bunyi bel sekolah tepat pukul tujuh,
rasa manis gulali di pasar malam, permukaan bus kota yang berdebu, suara sapu
lidi yang menyentuh halaman tiap pagi, hingga wajah orang asing yang kemudian
menjadi peristiwa jatuh cinta pada pandangan pertama. Dua hari lalu, saya
bertemu lagi dengan hal yang membuat saya merasakan jatuh cinta untuk kesekian
kalinya. Kali ini, bukit yang tak jauh dari rumah menjadi alasan saya untuk
kembali jatuh cinta. Tidak ingin berbasa-basi dan keseringan menggunakan dua
kata bertuliskan jatuh cinta, maka langsung saja saya ceritakan
bagaimana perjalanan saya menemukan cinta pada sebuah bukit dekat rumah. Selain
cerita kenapa saya bisa jatuh cinta, disini juga akan dibumbui beberapa banyak keluh
yang membuat saya resah seperti judul pada tulisan kali ini.
(kombinasi semesta yg bikin jatuh cinta)
Bukit yang saya datangi ini namanya
"ghunong montor" tapi oleh mahasiswa kkn dari perguruan tinggi x
dilabeli "bukit kembar", lengkap dengan plang penanda. Bagi orang
Madura, bukit memang kerap disebut dengan ghunong yang dalam
bahasa Indonesia berarti gunung. Apa yang mereka sebut sebagai ghunong sebenarnya
adalah bukit, sebab ghunong mereka tidak masuk dalam kategori
gunung yang harusnya memiliki ketinggian minimal 1000mdpl. Di Madura sendiri
tak ada gunung, yang ada hanyalah barisan perbukitan yang rata-rata bermaterial
batu kapur, membentang di tengah-tengah Pulau Madura mulai dari Bangkalan
hingga Sumenep. Kembali lagi ke Bukit Kembar alias ghunong
montor, sejujurnya saya lebih suka tempat ini 'hidup' apa adanya,
tanpa penanda-penanda apalagi hal-hal yg nantinya membuat ghunong ini
dikomersialisasikan macam ghunong-ghunong lainnya. Seperti
kebanyakan bukit yang akhir-akhir ini lahir dan jadi tempat hitz di berbagai
media sosial, yang menjadi perbedaan diantara mereka kebanyakan hanyalah nama
tempat saja, selebihnya hampir serupa. Saking banyak dan hampir serupanya,
sampai-sampai kita kebingungan, mana bukit yang berasal dari Bandung,
Kulonprogo, Malang hingga tempat lainnya. Saya jadi teringat dengan materi yang
disampaikan oleh dosen saya di kelas Arkeologi Pariwisata, bahwa
sebenarnya yang menarik dari satu tempat adalah
perbedaan ataupun keunikan yang tidak dimiliki oleh tempat lain. Apabila salah satu tempat di Sulawesi misalnya,
memiliki menara yang serupa dengan Eiffel di Paris, walaupun yang di Sulawesi
memiliki tinggi 3 kali lipat, maka tetap saja Eiffel adalah ciri khas dari
Paris, bukan tempat lain. Di mata saya, sangat hebat apabila satu destinasi
wisata benar-benar mampu mendongkrak keunikan yang memang dimiliki dan menjadi
ciri dari tempat tersebut.
(welcome itu selamat datang ya, bukan jenis keset di rumahmu)
Dalam kasus ini, tanpa
mengurangi sedikitpun rasa hormat saya terhadap teman-teman mahasiswa pt x,
sejujurnya *jujur mulu Lin, dari tadi emangnya kamu bohong ya?* akan
lebih baik menurut saya, ketika digunakan istilah lokal untuk menciptakan
sesuatu yang bersumber dari yang sudah ada *apasih, sehingga lebih
familiar di kalangan masyarakat sekitar. Kemarin saat saya menuju Bukit Kembar
bersama sepupu yang menjadi penunjuk jalan, kami sempat bertanya kepada
penduduk setempat tentang keberadaan Bukit Kembar. Ada yang langsung ngeh, ada
pula yang masih bingung yang membuat saya juga jadi bingung dan berpikir,
"sebenarnya Bukit Kembar ini "buatan" siapa sih, kok saya juga
baru dengernya sekarang?" Sedikit berbagi informasi juga dari apa yang
selama ini saya pelajari di bangku kuliah, bahwa pantang bagi saya yang
tugasnya kadang-kadang suka wawancara dengan orang pakai bahasa lokal, untuk
mengubah istilah-istilah lokal yang punya arti khusus di masyarakat tertentu ke
dalam Bahasa Indonesia yang justru membuat istilah tersebut kehilangan arti
yang sesungguhnya. Penggunaan huruf miring macam ini dapat
menjadi salah satu alternatif untuk membedakan istilah tersebut dengan istilah
pada umumnya, tentu dengan pembubuhan footnote ataupun glosari di dalam
tulisan. Mengubah istilah lokal ke dalam bahasa Indonesia saja saya tidak
boleh, apalagi mengubah nama yang membuatnya benar-benar jauh dari yang
sebenarnya. Untuk Bukit Kembar ini, saya berpikir positif jika aparat desa
terkait memang sudah melegalkan penamaannya yang berbeda dengan istilah
masyarakat setempat. Berasumsi yang positif-positif aja yekaan, biar tidak
terpelatuqe hehe.
(sebuah penanda)
(jangan spaneng ya mz mb, ayo senyum!)
Capek juga ya bahas yang serius-serius, yaudah
sekarang kembali lagi kepada cerita kenapa saya jatuh cinta sama ghunong
montor. Berikut beberapa alasannya:
1. Deket dari rumah
Dari rumah saya, tinggal jalan lurus ke utara
sejauh kurang lebih dua kilo (( jujur saya paling kacau dalam mengira-ngira
jarak )), terus belok kiri ke arah barat, ngikutin jalan yang berbelok-belok
tapi tetep satu jalan, terus ada pertigaan kecil ambil arah kanan, terus lurus
aja deh ke arah barat, niscaya nanti kalian akan sampai ke jalan buntu dan di
rumah terakhir, di situlah kalian bisa menitipkan kendaraan. Biar ga bingung,
boleh banget ngajak saya main-main, mumpung belum balik ke Jogja wkwk.
(saya yg sebelah kanan, kalo ketemu di jalan, disapa aja gapapa)
2. Banyak Ilalang
Saya paling suka sama tempat yang banyak
ilalang warna cokelat. Disini, saya merasa seperti sedang berada di padang
savana Rinjani atau Merbabu, tapi versi lebih mini. Saat lagi ngambil gambar
matahari yang mau tenggelam, eh tiba-tiba ada tiga orang, dua perempuan dan
satu laki-laki yang ternyata adalah penduduk setempat. Si laki-laki ini lah
yang bercerita banyak tentang ghunong montor. Sambil menyiangi
rumput buat makanan ternak, dia sekaligus mengungkapkan pandangannya
tentang ghunong montor yang menjadi Bukit Kembar. Katanya,
kalau sampai Bukit Kembar jadi tempat yang berkarcis, lumayan susah juga saat
dia nyari rumput. Dia juga takut jika nantinya ghunong ini
jadi tempat pacar-pacaran muda mudi yang kelewat batas, ehehe :(. Kalau kata
salah satu perempuan, masalah sampah menjadi salah satu kekhawatirannya jika
kelak tempat ini dikomersialisasikan. Memang beberapa sampah sudah mulai
hinggap saat saya berkunjung kesini.
(langitnya lagi baik)
(semesta juga lagi baik)
3. Masih Sepi
Tempat yang cocok buat merenung ataupun kabur
dari bunyi-bunyi kendaraan bermotor. Suara yang akan didengar di sini hanyalah;
kicauan burung, suara orang kalo kalian ketemu orang, sama suara dari pengeras
suara masjid kalo menjelang waktu sholat. Harapannya, sampai kapanpun tempat
ini tetap sepi, bahkan ketika tempat ini jadi destinasi wisata sekalipun.
Caranya gimana? ya kali aja nanti pengelola wisatanya menerapkan kuota
pengunjung perhari, serta kewajiban bawa sampah pas turun dari bukit.
(kaki saya jg cuma berdua aja, jelas sepi, hhh)
4. SUNSET DI SINI KEREN
Demi apapun, saya suka ketika liat matahari
terbenam disini. Dengan latar belakang dataran Madura bagian barat, serta
bacaan dari masjid sebelum Maghrib, dan matahari jingga pun juga langit
disekitarnya, benar-benar membuat saya berterimakasih atas rejeki yang
diberikan Tuhan kepada saya sore itu.
(sunset ala-ala)
(di perjalanan turun)
(saya dan surya)
5. Ga ada tiket masuk
Hehehehehehe. Tapi mungkin saya kalah cepat,
andai saya tahu tempat ini sebelum ada penanda-penanda ala-ala itu, mungkin
tingkatan jatuh cinta saya bisa lebih tinggi. Eh tapi mungkin saya saja
yang terlalu egois, pengen punya tempat berkeluh kesah dengan kriteria sepi,
autentik, tak banyak terjamah selain oleh warga lokal, serta hidup tanpa
dibayangi atek-antek kapitalisme ala Mandalawangi-nya Gie era '60an. Iya,
mungkin harapan saya ketinggian, terlalu egois. Soalnya saya sadar, sudah mulai
susah ketika berharap ketemu tempat main dengan ciri-ciri macam itu di zaman yg
apa-apa serba "masuk = bayar" ini, kecuali kita punya gunung, pantai
atau pulau pribadi, hehe. Bisa saja hari ini saya masuk tanpa bayar, tapi belum
tentu hal demikian berlaku di liburan semester depan, seperti yang terjadi
pada ghunong brukoh atau Bukit Brukoh di timur rumah saya
yang ndilalah sudah ada tiket masuk dan ramai orang-orang
jualan saja, berbeda 180 derajat dari kondisi tahun lalu yang sepi dan bebas
main-main kapan aja tanpa perlu bayar. Hal seperti ini sepertinya memang sudah
tidak heran terjadi di masa kini, di tengah masyarakat konsumtif yang apa-apa
mau dikonsumsi sehingga apa-apa harus berbayar juga buat dikonsumsi. Mulai dari
hal-hal "biasa" macam sandang, pangan dan papan, hingga konsumsi lain
yang berbentuk suasana, pemandangan, waktu, media sosial, keindahan hingga
hal-hal aneh lainnya.
(mas ini pas kecil suka main kejar-kejaran disini)
Harapan saya di poin 5 ini memang terlalu
ambisisus, halah, terlalu berharap lebih tepatnya. Tapi walau berharap
ketinggian, setidaknya harapan buat nemu tempat main tanpa perlu tiket masuk
masih ada. Ya walaupun saya gatau gimana nasib mereka di masa depan. Semoga aja
anak-cucu-cicit-piut sampe anggas saya dan generasi di bawahnya masih bisa
main-main di bukit belakang rumah mereka tanpa perlu minta sangu ke
bapak-ibuknya buat bayar retribusi. iya-iya, saya tahu kalau retribusi itu buat
perawatan tempat yang bersangkutan, tapi tetap saja kan berbeda feel antara
yang bayar dan yang gratis? hehe. Harapan lebihnya, semoga di masa mereka
nanti, masih ada bukit-bukit dan gunung-gunung sebagai tempat main :(
(bukit sebelah kanan katanya kembaran dari bukit ini)
(saya ketemu banyak sirus)
(di hp saya mataharinya mungil, tp kenyataannya keren pake banget)
(post ini emang banyak awan-awannya ya, harap maklum)
(( kaki saya kepotong hehehe :( ))
Sekian rubik #Beropini perdana ala Linda, semoga kedepannya saya bisa lebih mahir dalam menyampaikan opini lewat kata-kata. ehehe. salam!
Mau lah diajakin kesitu :(
BalasHapushaha, jangan buru-buru balik mangkanya :(
HapusKenapa... kemarin kita nggak ke sini...? :(
BalasHapus